Sabtu, 24 September 2011

FILM INDONESIA

Di Pasar Gorontalo, aku berjumpa karya kawan-kawan sutradara film Indonesia. Sementara di kota ini, tiada lagi gedung bioskop. Sejak LCD hadir mewarnai kehidupan, bisnis bioskop lintang pukang mengatasi defisit. Lalu mati dalam ketidakpastian.

Alangkah senang melihat karya kawan-kawan sutradara film Indonesia terpajang di sebuah toko penjualan DVD. Saya tidak tahu, apakah ini bajakan, asli tapi palsu atau memang benar-benar asli alias ori.
Saya berdiri di depan toko penjaja DVD dan VCD
di pasar Gorontalo.

Ada VCD musik Gorontalo. Isinya video klip untuk
nyanyi karaokean.

Jam dinding dan VCD yang terpajang.

Kipas angin, monitor , jam dinding dan poster promosi.

Andi Bachtiar Yusuf alias Ucup, Teddy Soeriaatmadja
dan Hanung Bramantyo hadir di sini:)

Tiga judul dalam serangkai, mana yang asli?

Saya rasa, di Indonesia ini menjadi sulit membedakan mana yang bajakan dan mana yang asli alias ori. Semuanya dikemas dengan kualitas yang tiada berbeda..."Yang penting masyarakat masih menyukai film Indonesia" Kata si pemilik toko 

MENJEMPUT PESAN NUSANTARA

Nusantara luas. Dihubungkan laut dan samudera raya. Kepulauan yang dihuni manusia dengan berbagai adat istiadat. Tiada kekurangan apapun. Kehidupan adil, makmur, sentosa dan bahagia. Pencerahan setiap hari. Namun Indonesia menunjukkan Nusantara yang berbeda. Indonesia adalah gugusan permasalahan yang pelik dan akut. Seperti tumor ganas yang menyerang titik vital. Kejam, menyiksa sedikit demi sedikit. Penyakit kekuasaan yang turun temurun. Adakah wajah Nusantara di dalam realitas Indonesia hari ini?

Perjalanan menjemput pesan adalah pertemuan dengan dunia masa lalu yang terdapat pada masa kini. Tidak populer, namun menyentuh kalbu yang terdalam. Nusantara ternyata masih ada...maka aku bersaksi kepadamu, menyampaikan salam dari perjalanan yang jauh pada jalan penuh liku...




Sulawesi adalah Pulau yang permai. Laut, hutan, sungai, danau, gunung dan perbukitan. Kekayaan alam semesta ciptaan Gusti Allah. Di pulau ini aku menjumpai perubahan demi perubahan. Pertemuan dan pergesekan budaya, transisi tradisi menuju modern. Hutan diterjemahkan sebagai lahan Sawit dan komoditas industri kebutuhan perut...



Kemajuan manusia diukur secara statistik. Alam semesta yang kaya raya diperkosa propaganda kesadaran palsu. Ketika banjir datang, manusia menterjemahkannya sebagai bencana alam, padahal alam sedang memanggil kesadaran yang murni. Namun, manusia dalam kendali keinginan, tiada lagi mampu menterjemahkan dirinya sendiri, alam semesta dan spiritualitas yang semestinya merupakan hubungan yang harmoni.



Aku bertemu dengan desa, pohon kelapa yang manis airnya, orang-orang baik yang selalu ingin berbagi. Mereka jauh dari gemuruh hingar bingar Jakarta. Dipetiknya buah kelapa, dikupaskannya lantas diberikan kepadaku. Serasa aku kembali ke masa silam ketika perjalanan selalu sampai pada tujuan dan mengetahui arah pulang. Sebab perahu yang kandas diperbaiki bersama, tiada permusuhan dan tiada kekacauan. Karena saling menyadari bahwa setiap manusia bersaudara.



Pada akhirnya manusia yang dikendalikan oleh segala keinginan dagingnya akan berada pada titik kekuasaan yang selalu ingin memperbudak diri sendiri dengan berbagai persoalan hidup. Namun, tidak bagi mereka yang hidup di lereng-lereng pegunungan itu. Jauh dari gemuruh kota, cukup satu tempurung nasi untuk bekal bersama. Kekuasaan politik merangsang huru-hara. Jika kemudian waktu kerusakan alam ini terjadi? Apakah bisa digantikan dengan jargon-jargon pemilihan umum dan demokrasi? Aku yakin, demokrasi akan menjadi tiran jika tanpa hubungan harmoni antara manusia dan alam semesta yang tercerahkan oleh alam spiritualitasnya.


Banyak batu menyimpan sejarah, mata manusia menyembunyikan sejarah batu-batu. Sejarah itu ditinggalkan. Mantra-mantra tak lagi mampu menjembatani manusia dengan alam semesta. Mesin-mesin industri terlalu gaduh menterjemahkan arti kekuasaan.




Batu-batu bertutur tentang masa lalu yang tak mampu diterjemahkan manusia hari ini. Ombak menepi dan pesan-pesan dihantarkan. Akan tetapi jaman memang sudah berubah. Setiap tindakan dihitung dengan angka nominal. Maka kelahiran jabang bayi sebagai manusia ekonomi adalah kelahiran jaman yang porak poranda.



Bisa jadi aku terjebak pada situasi yang keranjingan lotere. Sebab Surga dan Neraka diukur dengan baju dan kata-kata. Sebab kebaikan dan keburukan adalah persaingan stigma yang terus menerus menghantui hidup. Neil Amstrong sudah pergi ke Bulan. Pawang hujan menggunakan jasa SMS. Lantas, apa yang menghantui dalam hidup ketika Kartu Tanda Penduduk menjadi standart kebutuhan hidup?








Ah...di Indonesia ini senapan dan kata-kata menyalak bersamaan dengan gergaji mesin yang meraung dari tengah hutan. Lalu hujan hadir, banjir dan tanah longsor menyampaikan pesan-pesan yang seringkali tak dapat diterjemahkan karena tiada yang melihat, karena buta.

Senin, 20 Juni 2011

MEMBACA BALAI BUDAYA, BUDAYA MACAM APA?

Tempat itu bernama Balai Budaya. Berdiri sekitar tahun 1950an. Pada kisaran tahun 1960 an hingga 1970 an, tempat ini menjadi  tempat berpameran seniman-seniman hebat seperti Affandi, Hardi, Sudjoyono, Popo Iskandar, Nashar dan lain sebagainya. WS. Rendra dan Bengkel Teaternya sempat menampilkan karya drama tempat tersebut. 


Gedung Balai Budaya diabadikan pada tahun 1 April 2010. Gedung ini terletak
di JL. Gereja Theresia 47 Jakarta Pusat. Persis berseberangan dengan Pom Bensin.
Saya mendengar pertama kali nama Balai Budaya Jakarta ketika saya belajar di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta pada tahun 1995. Pada banyak diskusi kalangan seniman senior, nama Balai Budaya Jakarta tidak luput menjadi bahan perbincangan. Selain Balai Budaya, nama yang sering saya dengar adalah Taman Ismail Marjuki dan Bentara Budaya. Selain itu, pada komunitas tertentu, banyak yang memperbincangkan soal-soal yang terjadi di komunitas Pasar Seni Ancol. Namun, saya memiliki kesan tersendiri saat pada kira-kira tahun 97an itu saya berkunjung ke Balai Budaya untuk melihat pameran lukisan karya pelukis Nashar. Saya mengagumi Nashar karena konsisten memegang prinsip dan konsep berkesenian yang berdasar pada prinsip tiga non.


Saya datang ke Balai Budaya bukan hanya ingin melihat pameran lukisan karya pelukis Nashar, tetapi saya ingin mengenal lebih dekat sebuah gedung yang menjadi pembicaraan kalangan seniman. Tersebar kisah tentang Balai Budaya yang menjadi "rumah" bagi pelukis Affandi pada masanya. Di Balai Budaya juga terdapat lembaga kebudayaan yang seringkali sangat berpengaruh pada diskursus kesenian dan kebudayaan di Indonesia.


Namun, pada tahun 2010, gedung ini nampak seperti "rumah hantu kebudayaan" ketimbang sebuah tempat yang bersejarah. 


Inilah "Rumah pelukis besar Affandi" itu. Dari sinilah sebagian perjalanan
seni rupa Indonesia dimulai dan karya-karya besar dilahirkan.
Tulisan itu terbuat dari kayu, menurut cerita, tulisan itu ada sejak pertama
kali gedung ini didirikan

Poster dan informasi, dari selembar papan tripleks tipis. Nampaknya
gambar ini menyajikan gambaran kesenian dan kebudayaan Indonesia hari ini.

Halaman yang gersang, di sudut halaman terdapat warung, bisa ngutang
kopi atau teh botol...

Beberapa kawan dari Jogja datang untuk menggelar pameran. Barangkali
di era komersialisasi seni rupa melalui galeri saat ini bisa dikatakan Balai Budaya
bukan lagi ruang representatif untuk berpameran. Namun, kawan-kawan dari
Jogja saat itu bertujuan melakukan tirakat dan menyelusuri jejak sejarah 

PIET MONDRIAN DI BALAI BUDAYA@2010
Di Balai Budaya, saya menemukan karya-karya yang mirip lukisan Piet Mondrian, pelukis kelahiran Belanda yang hidup di tahun 1872-1944. Namun, ini bukan karya lukisan, melainkan pemandangan yang merupakan gambaran betapa Balai Budaya kini ditinggalkan dan tidak mendapat perhatian sebagai tempat yang bersejarah.


Piet Mondrian 1"Lampu Mati, Atap Bocor, Solusi Lakban dan Kebudayaan"

Piet Mondrian 2 "Solusi Lakban, Kebudayaan Darurat"

Piet Mondrian 3 "Atap Bocor dan Jajaran Lampu Mati"

Piet Mondrian 4 "Atap Retak dan Kematian Lampu"

 KEBUDAYAAN MACAM MANA?
Piet Mondrian 5 'Pintu Toilet Kebudayaan"

Piet Mondrian 6 "Dialog dari Masa Lalu, Kesaksian Lampu dan Kipas Angin"

Piet Mondrian 7 "Cahaya, Dinding dan Exhouse, Atap Bocor"


MENCARI JEJAK SEJARAH SENI RUPA INDONESIA
Tiga teman dari Jogja pameran seni lukis


Karya datang, siap untuk memasang karya, kemungkinan beginilah dahulu
Affandi dan seniman-seniman seangkatannya mempersiapkan pameran...
REALISME DI TOILET KEBUDAYAAN

Obat nyamuk seni 

Toilet Kebudayaan

Toilet Kebudayaan 2

?Di manakah hasil rapat kebudayaan itu

TIM dan Balai Budaya yang sama sama tuanya, tak berdaya dihantam badai jama...?
?Mana tahaaaaaaaaaaaaaaaaannnnn

.... Opera tempat sabun dan kain pel Balai Budaya

Kedatangan karya



....Masa lalu

....Selamat datang kepada masa lalu