Datang ke Morowali bagaikan hadir ke ruang gelap sinema,, mendapati film sudah setengah main dan saya tidak tahu dari mana ceritanya berawal....( Narasi: Daniel Rudi Haryanto dalam film dokumenter TO MOMPALIVU BURE, 2008)
Gambar ini saya ambil di wilayah Wana. Merupakan hasil cukilan pada selembar papan kayu. Tentunya ini adalah gambar perempuan...Anak-anak suku Ta'a sudah mulai mengenal pendidikan modern dalam pengertian sekolah. Mereka mengekspresikan pengetahuan mereka tentang kota, satu di antaranya dengan cukilan kayu ini... |
Berada di dalam hutan rimba Morowali, Sulawesi Tengah dan tinggal bersama masyarakat suku Ta'a memberikan pelajaran berharga di dalam hidup saya. Bukan hanya sebagai pembuat dokumenter, bukan hanya sebagai manusia yang selalu ingin berkarya, tetapi sebagai pribadi.
Saya jadi teringat Forest Gum yang jenuh dengan kehidupan kota besar yang tenggelam dalam angka-angka nominal dan statistik ekonomi kemakmuran. Lantas ia pergi begitu saja dari rutinitasnya dan berlari, berlari dan berlari hingga sepatunya berganti dan jenggotnya tumbuh dengan lebatnya. Orang mengira ia sedang menemukan pencerahan, akan tetapi ternyata pada suatu jalan tanpa ujung, ia kelelahan dan kembali. Orang-orang yang mengikuti jejaknya ingin mendengarkan "Sabda" sang Forest Gum, akan tetapi hanya "Aku lelah..." yang terdengar dari mulut si pandir kelana itu.
Saya membaca scene itu dan mendapati kesadaran bahwa modernitas telah membawa saya berlari, modernisme telah menanamkan akar rasionalitas absolut pada setiap pribadi, sementara itu modern menjadi ajang pertarungan identitas tanpa henti, setiap pribadi yang mengamini modernisme menjadi pelari. Mereka berlari di alam peradaban, entah sampai mana batas berlari itu?. Tujuan menjadi sumir. Hidup hanyalah menjadi angka-angka dan setiap manusia menjadi koding-koding digital yang setiap saat bisa saja dirubah sesuai dengan kemauan pemenang pertarungan jaman ini.
Di Morowali, modernitas merembes memasuki relung-relung kehidupan manusia. Saya menyadari, jaman edan sudah hadir, hingga pada ruang pribadi. Jaman edan berikut segala produknya telah merasuki dan ikut campur dalam kehidupan keseharian umat manusia...
Masaaaaaak ciiiiiiiihhhhhhhh...
Ho oh!
Ini petualanganku aku bagi padamu
Kami berangkat menuju Muara Wana, pintu gerbang menuju wilayah pembelajaran |
Kolonodale adalah pelabuhan kecil yang tidak lepas dari pencemaran laut karena sampah rumah tangga. Laut tercemar, kebudayaan lautpun entahlah... |
Inilah barang perbekalan kami untuk satu bulan di dalam hutan Morowali. kwik kwik kwik...bujubuneeeeng banyaknye booooo... |
Hehehhehe jauh juga yeeee dari Kolonodale ke Muara Wana, hampir dua jam neh nggak nyampe-nyampeeeeee....ada yang mabok laot...hihii |
Freeeen, barang bawaannya gimana bawa Freeen? Udah nyampe nih di titik awal perjalanan tracking hutan belantara....Persiapan deh... |
Di sebuah lokasi kami beristirahat sejenak. Padahal lokasi ini banyak
tumbuh batang rotan yang durinya seringkali menggores kulit kami.
Tapi yang namanya capek yaaaaah di mana aja sih oke oke aje...
Ya udah makan siang dulu, hmmm di pinggir kali di wilayah Ue Kandonga kami makan siang, nasi yang dibawa dari Kolonodale belum basi..... |
Gantian gue yang capek! asem! hehehehehhehe |
Kami segera berkenalan dan memohon ijin untuk mendirikan tenda sebagai tempat tinggal. Ih pramuka banget deh ahhhh...:) hahahhaa |
Om Janggo adalah orang tua ke dua yang kami temui setelah Om Jima. Beliau sangat senang ketika kami datang. Tuh liat, Erwan aja sampe berpose kayak pendekar tongkat kelana hahahahhaha |
Orang-orang santai merayakan kehidupan di rumah mereka. Inilah rumah orang Wana, sederhana dan terbuka... |
Kami lekas akrab dengan para keluarga di Marisa, kami sempat berfoto bersama mengabadikan pertemuan pertama itu....jadi rindu sama keluarga suku Ta'a yang baik-baik itu...::) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar