Jumat, 17 Juni 2011

MOROWALI JOURNEY@2007 #2

Datang ke Morowali bagaikan hadir ke ruang gelap sinema,, mendapati film sudah setengah main dan saya tidak tahu dari mana ceritanya berawal....( Narasi: Daniel Rudi Haryanto dalam film dokumenter TO MOMPALIVU BURE, 2008)

Gambar ini saya ambil di wilayah Wana. Merupakan hasil cukilan pada selembar
papan kayu. Tentunya ini adalah gambar perempuan...Anak-anak suku Ta'a sudah
mulai mengenal pendidikan modern dalam pengertian sekolah. Mereka mengekspresikan
pengetahuan mereka tentang kota, satu di antaranya dengan cukilan kayu ini...



Berada di dalam hutan rimba Morowali, Sulawesi Tengah dan tinggal bersama masyarakat suku Ta'a memberikan pelajaran berharga di dalam hidup saya. Bukan hanya sebagai pembuat dokumenter, bukan hanya sebagai manusia yang selalu ingin berkarya, tetapi sebagai pribadi.

Saya jadi teringat Forest Gum yang jenuh dengan kehidupan kota besar yang tenggelam dalam angka-angka nominal dan statistik ekonomi kemakmuran. Lantas ia pergi begitu saja dari rutinitasnya dan berlari, berlari dan berlari hingga sepatunya berganti dan jenggotnya tumbuh dengan lebatnya. Orang mengira ia sedang menemukan pencerahan, akan tetapi ternyata pada suatu jalan tanpa ujung, ia kelelahan dan kembali. Orang-orang yang mengikuti jejaknya ingin mendengarkan "Sabda" sang Forest Gum, akan tetapi hanya "Aku lelah..." yang terdengar dari mulut si pandir kelana itu.

Saya membaca scene itu dan mendapati kesadaran bahwa modernitas telah membawa saya berlari, modernisme telah menanamkan akar rasionalitas absolut pada setiap pribadi, sementara itu modern menjadi ajang pertarungan identitas tanpa henti, setiap pribadi yang mengamini modernisme menjadi pelari. Mereka berlari di alam peradaban, entah sampai mana batas berlari itu?. Tujuan menjadi sumir. Hidup hanyalah menjadi angka-angka dan setiap manusia menjadi koding-koding digital yang setiap saat bisa saja dirubah sesuai dengan kemauan pemenang pertarungan jaman ini.

Di Morowali, modernitas merembes memasuki relung-relung kehidupan manusia. Saya menyadari, jaman edan sudah hadir, hingga pada ruang pribadi. Jaman edan berikut segala produknya telah merasuki dan ikut campur dalam kehidupan keseharian umat manusia...

Masaaaaaak ciiiiiiiihhhhhhhh...

Ho oh!

Ini petualanganku aku bagi padamu


Kami berangkat menuju Muara Wana, pintu gerbang menuju wilayah pembelajaran
Kolonodale adalah pelabuhan kecil yang tidak lepas dari pencemaran laut
karena sampah rumah tangga. Laut tercemar, kebudayaan lautpun entahlah...


Inilah barang perbekalan kami untuk satu bulan di dalam hutan Morowali.
kwik kwik kwik...bujubuneeeeng banyaknye booooo...
Rumah bercagak, kayu dan daun lontar, hmmmm...air laut yang jernih...
Saya membayangkan orang yang tinggal di rumah itu punya kekayaan yang
tiada tara. Suasana kayak gini nih yang dicari Bill Gates kaleee yeeeeeeee
Kebahagiaan hidup bersama alam semesta...rayuan pulo kelapa....hihihhii
Hehehhehe jauh juga yeeee dari Kolonodale ke Muara Wana, hampir
dua jam neh nggak nyampe-nyampeeeeee....ada yang mabok laot...hihii



Freeeen, barang bawaannya gimana bawa Freeen? Udah nyampe nih di titik
awal perjalanan tracking hutan belantara....Persiapan deh...


Iyaaaaa Weeeeek, aku tahu perjalanan emang melelahkan, tapi torang jangan
cepat patah arang, kita mesti menemukan jejak suku Wana...Erwan nampak
kelelahan karena perjalanan tracking cukup sulit medannya...


Di sebuah lokasi kami beristirahat sejenak. Padahal lokasi ini banyak 
tumbuh batang rotan yang durinya seringkali menggores kulit kami.
Tapi yang namanya capek yaaaaah di mana aja sih oke oke aje...





Ya udah makan siang dulu, hmmm di pinggir kali di wilayah Ue Kandonga
kami makan siang, nasi yang dibawa dari Kolonodale belum basi.....


Wuiiihhhh Erwan udah siap kembali! Ari pikir-pikir dan Ali selalu siaga.
Ali itu kayak Kopasus, ternyata dia punya resep supaya kuat berjalan dan
bawa beban. Tahu nggak apaan? Itu tuh...tjap Tikoes! Bhuaahahhahahaha

Gantian gue yang capek! asem! hehehehehhehe
Sore hari kami tiba di sebuah lokasi yang nampaknya merupakan pemukiman
yang ditinggalkan. Lokasi bekas ladang ini menjadi tempat yang baik untuk
kami bermalam, sebab hari sudah mulai malam, burung hantu pun kuk..kuk..kuk...


Sampailah kami di Marisa, bertemu dengan Om Jima yang pakai kaos Nike.
Om Jima badanya kecil tapi beliau sangat kuat! OM Jima ini kepala suku di
wilayah Kajupoli dan Marisa yang merupakan wilayah frontir ekonomi.

Kami segera berkenalan dan memohon ijin untuk mendirikan tenda
sebagai tempat tinggal. Ih pramuka banget deh ahhhh...:) hahahhaa

Om Janggo adalah orang tua ke dua yang kami temui setelah Om Jima. Beliau
sangat senang ketika kami datang. Tuh liat, Erwan aja sampe berpose kayak
pendekar tongkat kelana hahahahhaha



Orang-orang santai merayakan kehidupan di rumah mereka. Inilah rumah
orang Wana, sederhana dan terbuka...
Kami lekas akrab dengan para keluarga di Marisa, kami sempat berfoto
bersama mengabadikan pertemuan pertama itu....jadi rindu sama keluarga
suku Ta'a yang baik-baik itu...::)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar