Senin, 20 Juni 2011

MEMBACA BALAI BUDAYA, BUDAYA MACAM APA?

Tempat itu bernama Balai Budaya. Berdiri sekitar tahun 1950an. Pada kisaran tahun 1960 an hingga 1970 an, tempat ini menjadi  tempat berpameran seniman-seniman hebat seperti Affandi, Hardi, Sudjoyono, Popo Iskandar, Nashar dan lain sebagainya. WS. Rendra dan Bengkel Teaternya sempat menampilkan karya drama tempat tersebut. 


Gedung Balai Budaya diabadikan pada tahun 1 April 2010. Gedung ini terletak
di JL. Gereja Theresia 47 Jakarta Pusat. Persis berseberangan dengan Pom Bensin.
Saya mendengar pertama kali nama Balai Budaya Jakarta ketika saya belajar di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta pada tahun 1995. Pada banyak diskusi kalangan seniman senior, nama Balai Budaya Jakarta tidak luput menjadi bahan perbincangan. Selain Balai Budaya, nama yang sering saya dengar adalah Taman Ismail Marjuki dan Bentara Budaya. Selain itu, pada komunitas tertentu, banyak yang memperbincangkan soal-soal yang terjadi di komunitas Pasar Seni Ancol. Namun, saya memiliki kesan tersendiri saat pada kira-kira tahun 97an itu saya berkunjung ke Balai Budaya untuk melihat pameran lukisan karya pelukis Nashar. Saya mengagumi Nashar karena konsisten memegang prinsip dan konsep berkesenian yang berdasar pada prinsip tiga non.


Saya datang ke Balai Budaya bukan hanya ingin melihat pameran lukisan karya pelukis Nashar, tetapi saya ingin mengenal lebih dekat sebuah gedung yang menjadi pembicaraan kalangan seniman. Tersebar kisah tentang Balai Budaya yang menjadi "rumah" bagi pelukis Affandi pada masanya. Di Balai Budaya juga terdapat lembaga kebudayaan yang seringkali sangat berpengaruh pada diskursus kesenian dan kebudayaan di Indonesia.


Namun, pada tahun 2010, gedung ini nampak seperti "rumah hantu kebudayaan" ketimbang sebuah tempat yang bersejarah. 


Inilah "Rumah pelukis besar Affandi" itu. Dari sinilah sebagian perjalanan
seni rupa Indonesia dimulai dan karya-karya besar dilahirkan.
Tulisan itu terbuat dari kayu, menurut cerita, tulisan itu ada sejak pertama
kali gedung ini didirikan

Poster dan informasi, dari selembar papan tripleks tipis. Nampaknya
gambar ini menyajikan gambaran kesenian dan kebudayaan Indonesia hari ini.

Halaman yang gersang, di sudut halaman terdapat warung, bisa ngutang
kopi atau teh botol...

Beberapa kawan dari Jogja datang untuk menggelar pameran. Barangkali
di era komersialisasi seni rupa melalui galeri saat ini bisa dikatakan Balai Budaya
bukan lagi ruang representatif untuk berpameran. Namun, kawan-kawan dari
Jogja saat itu bertujuan melakukan tirakat dan menyelusuri jejak sejarah 

PIET MONDRIAN DI BALAI BUDAYA@2010
Di Balai Budaya, saya menemukan karya-karya yang mirip lukisan Piet Mondrian, pelukis kelahiran Belanda yang hidup di tahun 1872-1944. Namun, ini bukan karya lukisan, melainkan pemandangan yang merupakan gambaran betapa Balai Budaya kini ditinggalkan dan tidak mendapat perhatian sebagai tempat yang bersejarah.


Piet Mondrian 1"Lampu Mati, Atap Bocor, Solusi Lakban dan Kebudayaan"

Piet Mondrian 2 "Solusi Lakban, Kebudayaan Darurat"

Piet Mondrian 3 "Atap Bocor dan Jajaran Lampu Mati"

Piet Mondrian 4 "Atap Retak dan Kematian Lampu"

 KEBUDAYAAN MACAM MANA?
Piet Mondrian 5 'Pintu Toilet Kebudayaan"

Piet Mondrian 6 "Dialog dari Masa Lalu, Kesaksian Lampu dan Kipas Angin"

Piet Mondrian 7 "Cahaya, Dinding dan Exhouse, Atap Bocor"


MENCARI JEJAK SEJARAH SENI RUPA INDONESIA
Tiga teman dari Jogja pameran seni lukis


Karya datang, siap untuk memasang karya, kemungkinan beginilah dahulu
Affandi dan seniman-seniman seangkatannya mempersiapkan pameran...
REALISME DI TOILET KEBUDAYAAN

Obat nyamuk seni 

Toilet Kebudayaan

Toilet Kebudayaan 2

?Di manakah hasil rapat kebudayaan itu

TIM dan Balai Budaya yang sama sama tuanya, tak berdaya dihantam badai jama...?
?Mana tahaaaaaaaaaaaaaaaaannnnn

.... Opera tempat sabun dan kain pel Balai Budaya

Kedatangan karya



....Masa lalu

....Selamat datang kepada masa lalu



1 komentar: