Sabtu, 24 September 2011

MENJEMPUT PESAN NUSANTARA

Nusantara luas. Dihubungkan laut dan samudera raya. Kepulauan yang dihuni manusia dengan berbagai adat istiadat. Tiada kekurangan apapun. Kehidupan adil, makmur, sentosa dan bahagia. Pencerahan setiap hari. Namun Indonesia menunjukkan Nusantara yang berbeda. Indonesia adalah gugusan permasalahan yang pelik dan akut. Seperti tumor ganas yang menyerang titik vital. Kejam, menyiksa sedikit demi sedikit. Penyakit kekuasaan yang turun temurun. Adakah wajah Nusantara di dalam realitas Indonesia hari ini?

Perjalanan menjemput pesan adalah pertemuan dengan dunia masa lalu yang terdapat pada masa kini. Tidak populer, namun menyentuh kalbu yang terdalam. Nusantara ternyata masih ada...maka aku bersaksi kepadamu, menyampaikan salam dari perjalanan yang jauh pada jalan penuh liku...




Sulawesi adalah Pulau yang permai. Laut, hutan, sungai, danau, gunung dan perbukitan. Kekayaan alam semesta ciptaan Gusti Allah. Di pulau ini aku menjumpai perubahan demi perubahan. Pertemuan dan pergesekan budaya, transisi tradisi menuju modern. Hutan diterjemahkan sebagai lahan Sawit dan komoditas industri kebutuhan perut...



Kemajuan manusia diukur secara statistik. Alam semesta yang kaya raya diperkosa propaganda kesadaran palsu. Ketika banjir datang, manusia menterjemahkannya sebagai bencana alam, padahal alam sedang memanggil kesadaran yang murni. Namun, manusia dalam kendali keinginan, tiada lagi mampu menterjemahkan dirinya sendiri, alam semesta dan spiritualitas yang semestinya merupakan hubungan yang harmoni.



Aku bertemu dengan desa, pohon kelapa yang manis airnya, orang-orang baik yang selalu ingin berbagi. Mereka jauh dari gemuruh hingar bingar Jakarta. Dipetiknya buah kelapa, dikupaskannya lantas diberikan kepadaku. Serasa aku kembali ke masa silam ketika perjalanan selalu sampai pada tujuan dan mengetahui arah pulang. Sebab perahu yang kandas diperbaiki bersama, tiada permusuhan dan tiada kekacauan. Karena saling menyadari bahwa setiap manusia bersaudara.



Pada akhirnya manusia yang dikendalikan oleh segala keinginan dagingnya akan berada pada titik kekuasaan yang selalu ingin memperbudak diri sendiri dengan berbagai persoalan hidup. Namun, tidak bagi mereka yang hidup di lereng-lereng pegunungan itu. Jauh dari gemuruh kota, cukup satu tempurung nasi untuk bekal bersama. Kekuasaan politik merangsang huru-hara. Jika kemudian waktu kerusakan alam ini terjadi? Apakah bisa digantikan dengan jargon-jargon pemilihan umum dan demokrasi? Aku yakin, demokrasi akan menjadi tiran jika tanpa hubungan harmoni antara manusia dan alam semesta yang tercerahkan oleh alam spiritualitasnya.


Banyak batu menyimpan sejarah, mata manusia menyembunyikan sejarah batu-batu. Sejarah itu ditinggalkan. Mantra-mantra tak lagi mampu menjembatani manusia dengan alam semesta. Mesin-mesin industri terlalu gaduh menterjemahkan arti kekuasaan.




Batu-batu bertutur tentang masa lalu yang tak mampu diterjemahkan manusia hari ini. Ombak menepi dan pesan-pesan dihantarkan. Akan tetapi jaman memang sudah berubah. Setiap tindakan dihitung dengan angka nominal. Maka kelahiran jabang bayi sebagai manusia ekonomi adalah kelahiran jaman yang porak poranda.



Bisa jadi aku terjebak pada situasi yang keranjingan lotere. Sebab Surga dan Neraka diukur dengan baju dan kata-kata. Sebab kebaikan dan keburukan adalah persaingan stigma yang terus menerus menghantui hidup. Neil Amstrong sudah pergi ke Bulan. Pawang hujan menggunakan jasa SMS. Lantas, apa yang menghantui dalam hidup ketika Kartu Tanda Penduduk menjadi standart kebutuhan hidup?








Ah...di Indonesia ini senapan dan kata-kata menyalak bersamaan dengan gergaji mesin yang meraung dari tengah hutan. Lalu hujan hadir, banjir dan tanah longsor menyampaikan pesan-pesan yang seringkali tak dapat diterjemahkan karena tiada yang melihat, karena buta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar